Saya adalah bagian dari generasi berpikiran dangkal. Kalau generasi di atas saya diberkati dengan kata-kata bijaksana dari para pemikir dunia -Ranciere, Badiou, Agamben, Zizek, dan sebagainya- saya adalah bagian dari generasi yang lebih suka mengadopsi kata-kata petuah dari twitter, dari dialog-dialog yang diucapkan karakter-karakter sitcom yang mungkin ditulis oleh orang-orang yang mungkin tidak bisa mempertanggungjawabkan hidup mereka sendiri.
Saya adalah bagian dari generasi bingung. Bukan karena sering dicap tidak ingat akan akar budaya sendiri, atau kenapa saya lebih tertarik pada sampah ketimbang seni. Tapi kenapa dunia seperti berjalan mundur. Kenapa dunia semakin lama semakin mendekat ke konservatisme, fanatisme agama, ras, geografi. Kenapa orang-orang semakin tidak bisa menerima perbedaan. Kenapa para pejabat dan wakil rakyat kebanyakan diisi oleh para the has-beens, the wash-outs, dan mereka yang mengikuti arah dari mana datangnya uang. Kenapa negara tidak dijalankan oleh negarawan melainkan oleh produk dari hasil tawar menawar politik.
Kita tidak lahir sebagai makhluk yang bertanya. Kita lahir sebagai binatang yang menerima apa saja yang dilakukan kepada kita. Kita mulai jadi manusia ketika kita mulai bertanya. Yang membuat kita bisa bertanya adalah saat kita mulai bisa memproses informasi. Semakin banyak informasi, semakin banyak pertanyaan yang dihasilkan oleh otak. Pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering tidak memberikan jawaban, hanya perban sementara. Lebih buruk lagi, pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering memberikan janji-janji yang menggiurkan hanya jika kita mau berhenti bertanya. Jika kita kembali menjadi binatang.
Di luar strata yang terlihat permanen dan seperti selalu berputar kembali ke titik nol ini, berdiri lah seni.
Saya ingat pada tahun 1997, saat hidup saya diselamatkan oleh musik dan tulisan orang-orang yang gelisah. Karya-karya mereka tidak memberikan jawaban, tapi menghancurkan tembok yang memisahkan saya dari kebebasan untuk berpikir. Informasi memberikan saya pilihan, seni mengaktifkan otak saya untuk bisa membuat pilihan-pilihan dengan lebih sadar. Atau bahkan membantu saya menemukan pertanyaan yang benar.
Seni yang berguna adalah seni yang jujur. Dan jika seni itu jujur, dia tidak akan mencoba menggantikan posisi agama dan nilai-nilai tradisi dengan memberikan jawaban sederhana. Jika seni itu jujur, dia tidak akan berkontribusi pada kesempitan pikiran yang menjadi masalah dunia, yang jadi masalah terbesar negara kita pada saat ini. Jika seni itu jujur, dia akan memberikan yang dibutuhkan dunia: alat pendobrak kesempitan pikiran yang selalu berusaha mendorong batas nilai-nilai.
Indonesia masih dipenuhi orang-orang yang lebih suka diberikan konfirmasi bahwa apa yang selama ini diajarkan kepada mereka adalah kebenaran mutlak. Sehingga banyak para oportunis yang mencari nafkah dengan mengatasnamakan seni menjual relijiusitas murahan dan nasionalisme sempit. Ini hanya membuat masyarakat semakin malas berpikir, dan inovasi-inovasi yang membuat hidup lebih baik akan semakin jarang muncul dari orang-orang Indonesia.
Ini adalah anti-seni yang membuat pikiran rakyat semakin sempit, semakin tidak bisa menerima perbedaan. Yang akan tetap mendorong timbulnya bentrokan-bentrokan.
Kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi telah membuat munculnya lebih banyak seniman dan pemikir. Saat ini, semua orang bisa menjadi seniman. Seni lukis, fotografi dan sinematografi, tulisan, musik, dan lagu. Semua orang bisa dengan gampang mempublikasikan karya mereka.
Saya beruntung lahir sebagai generasi yang mengalami dua fase di negeri ini. Saya sudah bisa berpikir saat pemerintah masih represif terhadap kebebasan menyiarkan dan mendapatkan informasi serta berekspresi dalam seni. Saat ini, saya tidak percaya bahwa represi pemerintah masih merupakan hambatan dalam berekspresi. Internet telah membuat ini mungkin dilakukan dengan cara mengadopsi anonimitas.
Represi yang kini ada, justru adalah represi oleh rakyat. Rakyat yang masih berpikiran sempit yang disebabkan oleh pengajaran agama yang tidak tepat dan nasionalisme sempit yang ditanamkan oleh pemerintah terdahulu dan para seniman anti-seni. Karena pemerintahan saat ini bukan lah pemerintahan memiliki kapabilitas, mereka cenderung bersifat reaktif. Mereka akan ikut represif jika rakyat represif untuk menjadi populer.
Melawan represi yang dilakukan rakyat sendiri lebih sulit ketimbang melawan represi yang dilakukan adalah pemerintah karena perlawanan tidak bisa dilakukan seperti melawan musuh. Salah satu cara berekspresi seni di kondisi ini adalah menyamarkan statement dalam bentuk karya yang lebih populis. Entertainment with a mission. Tentu saja orang yang mau berekspresi secara lebih eksplisit juga dibutuhkan karena keduanya sama-sama mendorong batas sampai akhirnya kebebasan berpikir tidak lagi jadi sesuatu yang dianggap berbahaya.
Seni dan informasi adalah rekanan yang paling bertanggung jawab untuk percepatan kemampuan untuk berpikir terbuka. Saat ini, seniman dan penyiar informasi mau tidak mau harus bisa menjadi aktivis untuk perubahan ini. Tentu saja kita tidak bisa menghakimi mereka yang lebih nyaman berekspresi dengan membuat keberjarakan dengan rakyat kebanyakan. Tapi yang paling dibutuhkan saat ini adalah merangkul rakyat dan secara menyenangkan membuka pikiran mereka.
(Dibacakan sebagai orasi budaya pada HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 8 Juli 2011)
Disadur dari SINI
0 komentar:
Posting Komentar