Selasa, 03 Januari 2012

Kita harus bersikap apa?

Saat saya berkunjung ke blog Joko Anwar, saya menemukan sebuah tulisan menarik yang berdasar atas pengalaman pribadi beliau. Ini dia!

“Udah liat foto Miyabi pakai batik?” tanya teman saya Robbie sambil mengubek-ubek jejeran DVD bajakan di Kemang di rak yang diberi label lucu ‘new realise’.

“Belum. Kenapa?” tanya saya. Tadinya saya pikir dia akan protes karena menganggap Miyabi tidak layak memakai pakaian kebanggaan Indonesia, sebagaimana bintang film porno itu tidak layak main di film Indonesia yang dikenal sangat bermutu, membanggakan, dan diproyeksikan akan jadi ‘tuan rumah di negeri sendiri’ di tahun… mmm… 2030. Tapi kemudian saya teringat rak DVD film-film favorit Robbie di mana beberapa film Miyabi (salah satunya berjudul Female Ninja Rape Ninjutsu Notebook dan Immoral Teacher 2) berjejer dengan sombong bersama film-film Stanley Kubrick. (Stanley Kubrick beneran bukan Stanley Pubic)

“Ya bangga lah, dodol,” kata Robbie.

Besoknya ketika saya sedang tunggang langgang mempersiapkan sebuah syuting, Robbie mengirimkan foto lewat Blackberry Messenger. miyabipakaibatiq.jpg. Karena sedang sibuk, saya tidak membukanya. Tak lama dia mengirim pesan lewat Blackberry Messenger. “Kok nggak diterima fotonya?” tanya Robbie. Saya pun mematikan Blackberry dan menghapus Robbie dari contact list.

Tak lama kemudian, Robbie menelpon dan marah. Bukan karena saya menghapus namanya dari contact list, tapi karena saya terlihat tidak tertarik dengan kenyataan bahwa Miyabi pun memakai batik.

“Show some nationalism spirit, dong!” katanya.

Bagi sebagian orang Indonesia, rasa bangga akan kebangsaan memang bercampur dengan rasa rendah diri.

Tahun lalu pada tanggal 17 Agustus, saya diundang oleh sebuah stasiun TV swasta sebagai pembicara di acara yang berjudul “Film dan Nasionalisme.” Di acara itu diputar sebuah klip yang menampilkan seorang laki-laki bule menjadi dalang dan seorang perempuan Jepang menari Jawa.

“Wah, bangga ya orang luar tertarik dengan kesenian kita,” kata pembawa acaranya. “Bagaimana, Mas Joko? Bangga dong, ya?”

“Nggak,” jawab saya. Dari mulai awal acara saya memang sudah merasa tidak nyaman berada di acara di mana para pembicaranya sibuk menunjukkan rasa ‘nasionalisme’ mereka. “Kenapa kita harus merasa bangga? Apa karena kita menganggap bangsa lain lebih tinggi dari kita sehingga kalau mereka mau memainkan kesenian Indonesia kita mesti bersyukur?”

Saya bersyukur karena itu adalah siaran langsung sehingga komentar saya tidak akan diedit. “Kalau itu kasusnya, berarti kita semua menderita inferiority complex,” tambah saya.

Bulan Desember lalu, twitter ramai dengan komentar orang-orang tentang Bono dari U2 yang konser dengan memakai batik. Yeah, dan orang-orang Amerika menggelinjang setiap detik mereka melihat orang Indonesia memakai celana jins.

Bulan lalu, sebuah stasiun radio membahas film-film luar yang menyebut salah satu tempat di Indonesia di dialognya. Memang kalau nonton di bioskop, setiap kali nama Indonesia atau nama-nama kota di Indonesia disebut di sebuah film, saya bisa mendengar orang bergumam kagum.

Saat band Temper Trap lagunya yang berjudul Sweet Disposition dipakai untuk film 500 Days of Summer, orang-orang juga memuji vokalisnya yang katanya orang Indonesia. “Waaah… hebat ya orang Indonesia bisa gitu…”

Mungkin karena gampangnya sebagian orang Indonesia dibuat senang dengan hal-hal yang berbau ‘nasionalisme’, banyak orang yang membuatnya sebagai strategi dagang. ‘Film Indonesia pertama yang bla… bla… bla…’, ‘Karya asli anak bangsa’ (bapak ibunya nggak pernah disebut). Soal karyanya ternyata crappy, itu masalah lain.

Beberapa waktu lalu, saya pulang kampung dan bertemu dengan paman saya yang kebetulan menonton saya di TV tanggal 17 Agustus tahun lalu. Dia bertanya kenapa saya sampai berbicara seperti itu.

“Bagi saya, nasionalisme sekarang bukan sekedar marah kalau ikon budaya kita yang diberikan oleh nenek moyang jaman dahulu kala diaku-akuin oleh orang luar, dan bangga kalau orang luar tertarik sama kesenian kita. Nasionalisme seharusnya rasa percaya diri bahwa kita memiliki kemampuan yang sama dengan orang manapun di dunia,” jawab saya.

“Orang Indonesia masih butuh pengakuan, “ kata paman saya. “Negeri besar penduduk banyak tapi belum banyak prestasinya. Daftar buruknya banyak. Biarin aja lah dulu, dimulai dengan hal-hal yang kamu benci tadi itu. Jangan dikecilkan hati mereka. Kasian.”

Tak lama kemudian, saya menelpon teman saya Robbie dan memintanya untuk mengirim foto Miyabi pakai batik lagi. Read More..

Represi oleh siapa?

Saya adalah bagian dari generasi gegar budaya. Setiap hari saya menonton film Amerika, ingin jadi seperti pembuat film dari Korea, percaya bahwa dialek Skotlandia adalah dialek terseksi di dunia, dan selalu menutup hari dengan masturbasi sambil nonton film porno dari Jepang. Sementara itu, film yang akan saya buat adalah film tentang wayang Jawa.

Saya adalah bagian dari generasi berpikiran dangkal. Kalau generasi di atas saya diberkati dengan kata-kata bijaksana dari para pemikir dunia -Ranciere, Badiou, Agamben, Zizek, dan sebagainya- saya adalah bagian dari generasi yang lebih suka mengadopsi kata-kata petuah dari twitter, dari dialog-dialog yang diucapkan karakter-karakter sitcom yang mungkin ditulis oleh orang-orang yang mungkin tidak bisa mempertanggungjawabkan hidup mereka sendiri.

Saya adalah bagian dari generasi bingung. Bukan karena sering dicap tidak ingat akan akar budaya sendiri, atau kenapa saya lebih tertarik pada sampah ketimbang seni. Tapi kenapa dunia seperti berjalan mundur. Kenapa dunia semakin lama semakin mendekat ke konservatisme, fanatisme agama, ras, geografi. Kenapa orang-orang semakin tidak bisa menerima perbedaan. Kenapa para pejabat dan wakil rakyat kebanyakan diisi oleh para the has-beens, the wash-outs, dan mereka yang mengikuti arah dari mana datangnya uang. Kenapa negara tidak dijalankan oleh negarawan melainkan oleh produk dari hasil tawar menawar politik.

Kita tidak lahir sebagai makhluk yang bertanya. Kita lahir sebagai binatang yang menerima apa saja yang dilakukan kepada kita. Kita mulai jadi manusia ketika kita mulai bertanya. Yang membuat kita bisa bertanya adalah saat kita mulai bisa memproses informasi. Semakin banyak informasi, semakin banyak pertanyaan yang dihasilkan oleh otak. Pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering tidak memberikan jawaban, hanya perban sementara. Lebih buruk lagi, pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering memberikan janji-janji yang menggiurkan hanya jika kita mau berhenti bertanya. Jika kita kembali menjadi binatang.

Di luar strata yang terlihat permanen dan seperti selalu berputar kembali ke titik nol ini, berdiri lah seni.

Saya ingat pada tahun 1997, saat hidup saya diselamatkan oleh musik dan tulisan orang-orang yang gelisah. Karya-karya mereka tidak memberikan jawaban, tapi menghancurkan tembok yang memisahkan saya dari kebebasan untuk berpikir. Informasi memberikan saya pilihan, seni mengaktifkan otak saya untuk bisa membuat pilihan-pilihan dengan lebih sadar. Atau bahkan membantu saya menemukan pertanyaan yang benar.

Seni yang berguna adalah seni yang jujur. Dan jika seni itu jujur, dia tidak akan mencoba menggantikan posisi agama dan nilai-nilai tradisi dengan memberikan jawaban sederhana. Jika seni itu jujur, dia tidak akan berkontribusi pada kesempitan pikiran yang menjadi masalah dunia, yang jadi masalah terbesar negara kita pada saat ini. Jika seni itu jujur, dia akan memberikan yang dibutuhkan dunia: alat pendobrak kesempitan pikiran yang selalu berusaha mendorong batas nilai-nilai.

Indonesia masih dipenuhi orang-orang yang lebih suka diberikan konfirmasi bahwa apa yang selama ini diajarkan kepada mereka adalah kebenaran mutlak. Sehingga banyak para oportunis yang mencari nafkah dengan mengatasnamakan seni menjual relijiusitas murahan dan nasionalisme sempit. Ini hanya membuat masyarakat semakin malas berpikir, dan inovasi-inovasi yang membuat hidup lebih baik akan semakin jarang muncul dari orang-orang Indonesia.

Ini adalah anti-seni yang membuat pikiran rakyat semakin sempit, semakin tidak bisa menerima perbedaan. Yang akan tetap mendorong timbulnya bentrokan-bentrokan.

Kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi telah membuat munculnya lebih banyak seniman dan pemikir. Saat ini, semua orang bisa menjadi seniman. Seni lukis, fotografi dan sinematografi, tulisan, musik, dan lagu. Semua orang bisa dengan gampang mempublikasikan karya mereka.

Saya beruntung lahir sebagai generasi yang mengalami dua fase di negeri ini. Saya sudah bisa berpikir saat pemerintah masih represif terhadap kebebasan menyiarkan dan mendapatkan informasi serta berekspresi dalam seni. Saat ini, saya tidak percaya bahwa represi pemerintah masih merupakan hambatan dalam berekspresi. Internet telah membuat ini mungkin dilakukan dengan cara mengadopsi anonimitas.

Represi yang kini ada, justru adalah represi oleh rakyat. Rakyat yang masih berpikiran sempit yang disebabkan oleh pengajaran agama yang tidak tepat dan nasionalisme sempit yang ditanamkan oleh pemerintah terdahulu dan para seniman anti-seni. Karena pemerintahan saat ini bukan lah pemerintahan memiliki kapabilitas, mereka cenderung bersifat reaktif. Mereka akan ikut represif jika rakyat represif untuk menjadi populer.

Melawan represi yang dilakukan rakyat sendiri lebih sulit ketimbang melawan represi yang dilakukan adalah pemerintah karena perlawanan tidak bisa dilakukan seperti melawan musuh. Salah satu cara berekspresi seni di kondisi ini adalah menyamarkan statement dalam bentuk karya yang lebih populis. Entertainment with a mission. Tentu saja orang yang mau berekspresi secara lebih eksplisit juga dibutuhkan karena keduanya sama-sama mendorong batas sampai akhirnya kebebasan berpikir tidak lagi jadi sesuatu yang dianggap berbahaya.

Seni dan informasi adalah rekanan yang paling bertanggung jawab untuk percepatan kemampuan untuk berpikir terbuka. Saat ini, seniman dan penyiar informasi mau tidak mau harus bisa menjadi aktivis untuk perubahan ini. Tentu saja kita tidak bisa menghakimi mereka yang lebih nyaman berekspresi dengan membuat keberjarakan dengan rakyat kebanyakan. Tapi yang paling dibutuhkan saat ini adalah merangkul rakyat dan secara menyenangkan membuka pikiran mereka.

(Dibacakan sebagai orasi budaya pada HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 8 Juli 2011)
Disadur dari SINI
Read More..

Senin, 02 Januari 2012

Ayo "Nglakson" untuk lalu lintas yang lebih baik

Sebenarnya ide tulisan ini sudah lama ada di otak saya, tapi karena tumor malas saya sering kambuh ya jadi baru sekarang ditulis.

Saya sering bingung sekaligus gondok melihat angkutan-angkutan umum yang berseliweran sering berhenti di sembarang tempat seenak jidat!tapi yang saya perhatikan adalah reaksi-reaksi orang-orang yang dibelakangnya.
Ada yang kesel, marah, diem aja, dll. Kalo saya pribadi sih lebih sering keselnya!!!

Kejadian seperti diatas sudah sangat-sangat-sangat-sangat sering saya alami dan sepertinya akan terus saya alami selama kaki ini menyentuh jalanan dan selama bumi masih berputar di porosnya. Saya adalah tipe orang yang sangat menghargai waktu, karena itu dalam benak saya selalu berkeinginan untuk membasmi kecoa-kecoa jalanan itu, atau minimal bikin mereka gak gitu lagi.

Tapi saya tahu bahwa keinginan tersebut akan menjadi asap sate yang terbang habis begitu saja kalau saya sendiri yang menginginkannya. Untuk itu saya punya solusi sederhana, coba pikirkan berapa uang negara yang habis menguap di jalan setiap paginya akibat kemacetan yang ditimbulkan oleh angkutan-angkutan biadab yang suka berheti seenak jidat itu?!banyak, coy!

Coba pikirkan, berapa banyak tenaga yang harus anda keluarkan apabila anda menahan amarah, menahan kopling, rem dan beratnya motor gede anda dibandingkan sekedar menekan tombol klakson yang empuk dan nyaman ditekan itu?ya!"Nglakson" adalah solusi efektif untuk mengatasi kecoa jalanan.
Dengan menekan tombol klakson secara bersamaan sekaligus minimal akan membuat supir angkot pusing. Dan yang paling parah dapat mengakibatkan kejang-kejang seperti yang pernah saya lihat.

Mungkin saya sok tahu, tapi saya sudah 20 tahun hidup di Indonesia dan bisa menyimpulkan bahwa kultur orang Indonesia itu baru mau jalan kalau ditabuh gong!artinya itu orang baru mau jalan kalo disuruh.
Hal seperti itulah yang mendasari saya untuk menciptakan artikel bodoh ini. Jadi intinya kita bisa sama-sama bikin jalanan jadi lebih lancar, tertib,  aman, sentosa dan sejahtera cuma dengan "Nglakson".Segampang itu?ya Iya lah!coba aja!

Sekian Read More..

Minggu, 01 Januari 2012

The Postcards From The Zoo, film baru Nicholas Saputra

Ladya Cheryl




Nicholas Saputra

Satu lagi film Indonesia berkualitas yang bakal berkompetisi di ajang internasional. Adalah “Postcards from the Zoo” sebuah film yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Ladya Cheryl yang akan berkompetisi di 62nd Berlin International Film Festival di bulan Februari tahun 2012 mendatang. Film yang judul berbahasa indonesianya disebut “Kebun Binatang” ini ditulis dan disutradarai oleh Edwin. Untuk penulisan, Edwin dibantu oleh penulis skrip kondang, Titien Wattimena.



Sinopsis

Ingatan Lana dimulai 20 tahun yang lalu, ketika sang ayah meninggalkan dirinya sendirian di sebuah kebun binatang. Iapun diasuh oleh seorang pelatih jerapah dan akhirnya hidup di kebun binatang tersebut, menikmati suara langkah kaki Kudanil, kepakkan telinga gajah, dan suara aneh jerapah. Lana tumbuh menjadi anak yang penuh kebahagiaan, sehingga akhirnya mampu melupakan sang ayah.

Suatu hari, seorang koboy datang ke kebun binatang tersebut. Lana langsung jatuh cinta padanya. Ia pun kemudian menjadi asisten koboy tersebut dan membantunya tampil dalam atraksi sulap. Kota tempat mereka tinggal menyukai mereka dan akhirnya keduanya memiliki acara TV sendiri. Suatu hari, si koboy melakukan sulap yang melibatkan api. Seiring dengan hilangnya api, si koboy pun menghilang.

Dengan menghilangnya si koboy, sang boss yang mengurusi Lana pun menjualnya ke Planet Spa. Lana tak lagi bahagia. Ia terus merindukan si koboy dan kebun binatang. Lana kini bekerja sebagai tukang pijat plus plus. Pelanggannya sangat suka dengan kisah-kisah kebun binatang yang ia ceritakan. Seorang bodyguard albino di tempat tersebut jatuh cinta pada Lana. Ia pun kemudian membakar Planet Spa untuk melindunginya. Kini Lana berhasil kembali ke kebun binatang, tapi dia tak menemukan siapapun disana. Ia kembali berdiri sendirian di kebun binatang.

Preview majalah Cobra

Kebun binatang. Koboi dan gadis Indian. Sulap. Pijat plus-plus. Interaksi. Jenjang leher jerapah. Pergi. Hasrat. Keramaian. Datang. Perjalanan. Daun telinga gajah. Hening. Perubahan. Sutradara Edwin memindahkan asing-asing dan kedekatan-kedekatan pada kita– pada manusia—dengan cara yang sebebas intuisinya, dan tak mudah diterka. Gambar, musik, dialog adalah komposisi irama tenang dan mencong pada cerita yang sederhana: Seorang gadis yang sejak kecil hidup di kebun binatang yang suatu saat harus pergi meninggalkan tempat itu, berkelana bersama seorang pesulap berkostum koboi, hingga mendarat di tempat spa plus. Wajar dan sureal. Dan sangat indah.

Setelah film panjang pertamanya “Babi Buta Yang Ingin Terbang”, juga karya pendek terbaru “Roller Coaster” yang mengabarkan rasa ajaib bagi pria dan wanita yang telah lama bersahabat saling melucuti pakaian dan akan bugil saling berhadapan (karya ini disertakan dalam film omnibus Belkibolang bersama karya delapan sutradara lain; kesemuanya bertema besar Jakarta di waktu malam dan dimainkan oleh dua pemeran utama), kini Edwin kembali datang dengan detail visual kisah-kisah dan kekuatan intuisi (yang dilengkapi dukungan teknis yang bagus), yang semakin sulit tampak pada cara produksi film lokal hari ini. Melewati karya-karyanya (yang durasi pendek pun panjang) diputar di puluhan negara, mendapat respon positif dari media-media internasional, dan namanya tertera di atlas sutradara dunia, bisa jadi Edwin serupa Garin Nugroho muda yang punya tiga jenis tato Iggy Pop (dalam berbagai model potongan otot), senang melukis gerak gerik satwa, dan bisa mengeluarkan koin emas dari vagina. Postcard From The Zoo yang menawan akan datang mengabarkannya.

Cast & Crew

Cast: Ladya Cheryl, Nicolas Saputra, Adjie Nur Ahmad, Klarysa Aurelia Raditya, Dave Lumenta, Abizars, Iwan Gunawan, Nitta Nazyra C. Noer, Heidy Trisiana Triswan.
Directed & Written by: Edwin.
Producer: Meiske Taursia.
Co-writers: Daud Sumolang, Titien Wattimena.
Director of Photography: Sidi Saleh.
Editor: Herman Kumala Panca.
Art Director: Bayu Christianto, Kurniawansyah Putra.
Art Supervisor: Eros Eflin.
Scoring Music: Dave Lumenta.
Make Up: Eba Sheba.
Casting: Nanda Giri.
Costume Designer: Aulia Yogyanti.


SEMOGA SEGERA TAYANG DI 2012!!!!


UPDATE!!!!

Film Nicholas Saputra, Postcard From Zoo Akan Tayang Di Berlinale Film Festival 2012



Film Indonesia kembali berprestasi.

Salah satu festival film bergengsi dunia, festival film Berlin, telah mengumumkan daftar film-film yang akan ikut kompetisi dalam festival film yang diadakan ke 62 kalinya ini.

Ada lima film yang ikut kompetisi kali ini dan salah satunya adalah wakil dari Indonesia, film Postcard From Zoo, yang disutradarai oleh Edwin dari Babi Buta Film.

Postcard From Zoo dibintangi oleh Ladya Cheryl ( Ada Apa Dengan Cinta, Fiksi) dan Nicholas Saputra ( Ada Apa Dengan Cinta, Gie).

Selain Postcard From Zoo, film lain yang ikut kompetisi adalah film produksi Spanyol, Republik Rakyat Cina, Hongkong/Cina, Filipina, Inggris Raya, Jerman, Amerika Serikat dan Perancis.

Berlinale Film Festival ke 62 akan diselenggarakan mulai tanggal 9-19 Februari 2012 nanti. 


SUMBER : Disini
Read More..