Minggu, 25 September 2011

3 of 3 memorable movie : Pintu Terlarang a.k.a The Forbidden Door

Sutradara Joko Anwar
Produser Sheila Timothy
Penulis Joko Anwar
Pemeran Fachri Albar
Marsha Timothy
Ario Bayu
Otto Djauhari
Tio Pakusadewo
Henidar Amroe
Musik oleh Aghi Narottama
Bemby Gusti
Ramondo Gascaro
Sinematografi Ipung Rahmat Syaiful
Penyunting Wawan I Wibowo
Distributor Lifelike Pictures

Kita sampai di akhir dari trilogi film yang paling memorable versi saya.
Sebenarnya saya ingin sekali mereview film ini dengan tulisan dan gaya saya sendiri. Tapi apadaya, film ini terlalu sulit untuk saya deskripsikan karena ceritanya sangat banyak "twist"nya.
Saya sangat sakit hati setelah menonton film Indonesia yang satu ini. Film ini "sakit", dalam arti menurut tafsiran saya, saya tidak merasa nonton film Indonesia saat menonton film ini.
Ini adalah film Indonesia yang paling wajib ditonton menurut saya. Sayapun rela membeli vcd dan dvd originalnya yang menurut saya harganya termahal diantara film-film Indonesia lainnya.
Tanpa panjang lebar, mari ikuti review yang agak panjang dan bikin kesel ini.



Hanya karena dia memandang kamera, bukan berarti dia sedang bicara padamu!

(Dandung, Pintu Terlarang)



Pintu Terlarang : Kamera sebagai Jarak Mutlak

oleh Hikmat Darmawan
Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta


1.

Membaca film ini harus dimulai dari membaca Joko Anwar, sang sutradara dan penulis film ini. Dari keseluruhan karya Joko sejauh ini, termasuk karya-karya skenarionya yang disutradarai oleh orang lain (seperti fiksi., Quickie Express, dan Jakarta Undercover), segera tampak sebuah paradoks jarak.

Joko adalah seorang yang punya pengamatan tajam terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Ia, misalnya, bisa membedah tipologi dan perilaku penonton bioskop kita dalam Janji Joni. Atau, tipologi lantai-lantai sebuah rumah susun dan polah unik sebagian penghuninya dalam fiksi. yang disutradarai Mouly Surya. Atau, ia mampu menggambarkan betapa sebelum jadi gigolo, tokoh Jojo dalam Quickie Express adalah tukang tambal ban.

Perhatikan juga kegemarannya untuk membuat adegan kejar-kejaran di dalam gang atau ruang kota yang sempit: Joko punya kesadaran ruang yang tinggi terhadap kotanya, Jakarta. Perhatikan bagaimana tokoh Alisha dalam fiksi. menguntit tokoh Bari, dan kita pun dibawa (oleh Joko, juga Mouly) mengalami sebuah transisi ruang kota yang cukup mengesankan dari ruang steril seorang putri aparatus Orba ke ruang riuh rumah susun murah di tengah kota Jakarta.

Tapi, Joko adalah juga seorang sutradara muda kita yang mampu sepenuhnya mempersetankan “realitas”, penuh sadar membuat karya-karya eskapis, berjihad memperjuangkan style di atas segalanya. Demikianlah Kala diciptakan.

Dalam film yang tak banyak ditonton (tapi banyak dibicarakan) itu, Joko menciptakan sebuah dunia yang keluar dari dunia keseharian penonton. Sebuah dunia dongeng murni, dunia eskapisme murni, dunia yang memutlakkan Joko sebagai Sang Pencipta, sehingga Joko bisa leluasa menekuk-nekuk plot dan nasib para tokohnya. Dunia yang matang secara teknik-visual, dunia rekaan yang menyatakan dengan gamblang dambaannya pada gagasan-gagasan teknik-artistik nun di Hollywood sana (noir lah, genre-bending lah).

Dengan kata lain, Joko menciptakan jarak dengan dunia para penontonnya. (Dan, jangan salah: Joko sudah punya penontonnya sendiri –mereka yang fanatik terhadap film-film Joko. Artinya? Ada saja yang rela dibetot Joko dari dunia keseharian mereka, dari “realitas”, dan dibawa serta dalam fun ride di “rumah hantu” ciptaan Joko.)

Dan itu semakin kuat dinyatakan Joko lewat permainan gagasannya tentang “kamera”, “penonton”, “menonton”, dan “kenyataan”, dalam Pintu Terlarang ini. Dalam film ini, jarak sungguh mutlak dalam relasi dunia penonton dengan dunia rekaan Joko.


2.

Pintu Terlarang adalah sebuah film thriller/slasher berdasarkan cerita dari novel Sekar Ayu Asmara. Sensasi terbesar film ini adalah adegan-adegan sadisnya. Ada enam orang disembelih dalam film ini, disorot kamera secara frontal, sehingga jelas belaka darah yang meleleh dan menyembur keluar. Sebuah adegan menggambarkan pecahan otak di atas meja. Sebuah adegan memperlihatkan mata yang dibenamkan dalam pecahan gelas. Juga: beberapa adegan yang melibatkan janin bayi yang berlumur darah aborsi.

Ada misteri. Ada cerita berbau teori konspirasi. Ada nuansa cerita hantu pula. Pada akhirnya, ini adalah sebuah cerita drama-psikologis. Dan, Fachry Albar boleh lah aktingnya, memerani sebuah rentang emosi dan persimpangan-persimpangan psikologis yang sukar. Ketakjelasan artikulasinya termaafkan oleh pembawaan tubuhnya yang cukup “bermain” –terutama di adegan klimaks yang wah itu.

Saya tak ingin menulis tentang itu semua. Saya ingin menekuri sebuah hal saja dari film ini: gagasan Joko tentang (retorika) kamera dalam film ini. Dan memang, di awal film kita disuguhi sebuah adegan yang terekam dalam kamera berderau (ber-noise), seperti kamera CCTV atau kamera pengawas yang di-blow up ke ukuran layar bioskop.

Adegan yang direkam kamera pengawas itu adalah adegan sebuah keluarga batih yang terdiri dari ibu, ayah, dan seorang anak lelaki, yang melakukan kekerasan domestik. Sang ibu tampak stress, mudah marah, dan cenderung melampiaskan emosinya pada si anak. Sang ayah hanya diam, tapi biasanya “membantu” si ibu melakukan kekerasan pada si anak.

Mengapa kita secara segera “mengetahui” bahwa itu adalah kamera pengawas? Di samping karena distorsi derau yang menyebabkan gambar kurang sempurna atau kurang tajam, yang biasanya mengindikasikan kamera beresolusi rendah yang biasa digunakan untuk kebutuhan pengawasan/pengintaian itu, sudut-sudut kamera juga tampak berada di pojok-pojok khas tempat kamera pengintai dipasang.

Adegan-adegan dalam kamera pengintai itu merekam liyan (the other) bagi tokoh utama kisah film ini, seorang pematung sukses bernama Gambir (Fachry Albar). Keluarga “gila” itu adalah (ini tampak dalam penataan ruang dan kostum mereka) keluarga “biasa” dalam masyarakat kita. Tidak miskin-miskin amat, tapi jelas jauh dari kaya. Ketika dunia si anak itu mampir ke pintu rumah Gambir, Gambir yang merasa dijahili memaki, “Anak kampung!”

Gambir, dan istrinya, Talyda (Marsha Timothy), serta dunia mereka, sebetulnya adalah liyan bagi kebanyakan penonton film Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh molek di sebuah dunia jet set Indonesia, yang mampu menjual-beli patung seharga 3-5 milyar rupiah. Tapi, bagi Gambir dan dunianya, Joko menyediakan kamera tajam dan bersih untuk menjadikan dunia itu poros “kenyataan” film ini.

Dengan kata lain, dunia Gambir dan dunia si anak yang disiksa berada dalam jarak amat jauh, sebetulnya. Jarak itu terjembatani oleh peristiwa-peristiwa berbau supranatural dan oleh kamera pengawas/pengintai itu. Terutama kamera. Kamera lah yang memungkinkan Gambir melihat apa yang terjadi pada si ”anak kampung” dan keluarganya. Kamera lah yang memastikan bahwa si ”anak kampung” dan keluarga kejamnya memang ada.

Kamera pula yang menghalangi Gambir menemui si ”anak kampung”. Karena, kamera tak menyajikan keterangan apa-apa. Ia hanya merekam yang di hadapan, dan ketika kamera ditempatkan statis macam kamera pengawas atau pengintai itu, maka ia tak ingin tahu lebih jauh. Ia tak mencari alamat si ”anak kampung”. Ia hanya merekam ”kenyataan” sekeping sekeping. Ia menampakkan semua yang tertangkap matanya, tapi juga tak menyajikan apa-apa yang penting (atau, apakah ”penting” bagi kamera dalam Pintu Terlarang?).

Kamera hanya merekam, dan televisi menyampaikan. Dan jarak pun menjadi mutlak: Gambir hanya bisa menonton penyiksaan itu. Ia hendam, tak berdaya. Kenapa? Kenapa pula ia terdesak merasa harus menonton lagi adegan-adegan penyiksaan yang perih itu?

Di sini, Joko mulai masuk ke wilayah permainan makna ”menonton” dan “penonton”. 


3.

Menonton adalah sebuah perilaku amoral –dalam arti, tak bisa dinilai secara moral. Atau kurang lebih begitu. “Kita cuma menonton!” kata Dandung (Ario Bowo), sahabat Gambir, ketika Gambir marah karena Dandung mengajaknya menonton beberapa perilaku menyimpang hasil intaian beberapa kamera di entah di mana, di klub Herosase.

Mempertanyakan moralitas aktivitas menonton –inilah persoalan yang dengan kuat dimunculkan oleh Peeping Tom, sebuah film karya Michael Powel pada 1960. Film itu, yang menuai cercaan pada saat beredar tapi dianggap mahakarya setelah lama kemudian hingga sekarang, mengisahkan seorang pembunuh serial, Mark Lewis (Carl Boehm), yang menggunakan tripod kameranya yang dilengkapi senjata tajam untuk membunuh gadis-gadis muda. Tujuan kamera sebagai alat pembunuh itu adalah untuk sekalian merekam ekspresi penuh teror para korban.

Peeping Tom diedarkan sebulan sebelum karya sutradara Inggris lain menuai sensasi, Psycho (Alfred Hitchcock). Kenapa Psycho disambut, dan Peeping Tom disalib? Beberapa pengamat menunjuk salah satu sebabnya adalah pengambilan sudut pandang kamera pembunuh beberapa kali, yang memaksa para penonton film ini menjadi voyeur (pengintip) juga, seperti si pembunuh di layar lebar itu. Penonton dibetot untuk mengalami sudut pandang sang pembunuh. Penonton ditempatkan “menikmati” kamera yang membunuh itu.

(Kamera yang membunuh. Hm. Walau secara harfiah, itu yang memang kurang lebih terjadi dalam Peeping Tom, tapi perhatikan betapa metaforis gambaran itu! Betapa banyak kemungkinan makna dari pilihan Powel menjadikan kamera sebagai pembunuh!)

Persis kenikmatan mengintip, menonton, semacam itu yang digambarkan sebagai perilaku dekaden golongan superkaya di Pintu Terlarang. Orang-orang “atas angin” ini diam-diam berkumpul di klub rahasia dalam gedung Herosase, dan membayar mahal untuk hiburan eksklusif yang tersedia di daftar menu di kamar tertutup: seorang nenek merajut yang menjahitkan tangannya ke rajutannya, dan seorang anak yang disiksa. Lalu, seolah sedang bicara daftar makanan yang baru dicicipi di sebuah restoran baru, sekelompok orang kaya bicara tentang berbagai perilaku menyimpang itu di galeri. Mereka membahasnya, menganalisanya, sambil tampak pula keasyikan mereka mencicipi buah terlarang nan eksklusif itu.

Kalau kita perhatikan, mengapa mereka bisa dengan asyik menganalisa berbagai perilaku kekerasan dan menyimpang itu –tak lain karena semua itu mereka saksikan di televisi. Kamera dan alat video memberi mereka jarak yang aman untuk bisa melihat tanpa jadi “kotor” karena terlibat. Mereka bisa menganalisa moralitas para pelaku perilaku menyimpang itu, tapi mereka tak merasa perlu mempertanyakan moralitas mereka sendiri yang menonton perilaku menyimpang tersebut (bahkan membayar untuk itu!).

Kalau saya sih, paling tak tahan pada keluarga yang menyiksa anak itu , kata salah seorang di galeri. Saya rasa, kata orang itu, dia tak akan bertahan lebih lama, sebentar lagi akan mati anak itu. Lalu semua manggut-manggut, memegang gelas wine mereka, para beautiful people....

Pertanyaan apakah yang mereka saksikan itu “nyata” atau “tak nyata” (yang mengandung konsekuensi: kalau “nyata”, lantas apa?) dikembangkan lebih jauh: apakah para pelaku kekerasan dan penyimpangan itu tahu bahwa mereka direkam kamera atau tidak? Apakah mereka sadar kamera, atau tidak? Artinya, apakah mereka tak sadar, sukarela, ataukah memang dibayar? Kalau sampai dibayar, kekerasan yang “nyata” itu jadi intensional, dan, dalam sudut pandang tertentu, tak lagi “nyata” –tapi sekadar pengembangan lebih jauh dari perilaku manggung.

Benarkah demikian? Benarkah kekerasan yang nyata, kongkret, menjadi tak nyata hanya karena ia dipanggungkan, ditelevisikan?

Kita hanya menonton , kata Dandung kepada Gambir. Gambir yang mencoba ikut campur ingin menolong, mencoba menyeberang dari dunia penonton ke sang liyan, hancur jiwanya. Ia tak berdaya menembus jarak mutlak yang disediakan kamera dan monitor televisi. Dandung memberi solusi pragmatis: Gambir harus terus menonton, sampai kamera menangkap petunjuk kongkret, di mana sebenarnya keluarga dan anak tersiksa itu berada dan Gambir bisa menolong.

Joko memilih jarak itu tetap mutlak tak terseberangi. Anak di dalam televisi itu menatap Gambir untuk terakhir kali, dan Gambir tetap tak mampu memasuki dunia sang liyan.

4.

Joko, sebetulnya, juga mengganggu jarak itu di beberapa tempat. Misalnya, di tengah-tengah film, saat kita sudah paham benar bahwa yang terjadi pada si anak di monitor kamera pengintai itu adalah nun “di sana”, tiba-tiba kamera yang merekam dunia Gambir menampilkan si anak yang diikat tangan dan kakinya. Persis scene sebelumnya, seorang perempuan menggambar dengan pensil wajah si anak.

Tentu saja, jarak itu sudah terganggu –dan itulah sebab mengapa Gambir begitu terganggu. Entah bagaimana, sang liyan masuk ke dunianya. Ada coretan “tolong saya” di mana-mana, di tempat-tempat dan keadaan-keadaan musykil, ditujukan pada Gambir. Ada kelebat-kelebat seorang anak berlari. Ada sesuatu yang supernatural dalam intrusi sang liyan ke dunia Gambir. Paling tidak, sesuatu di ambang batas “nyata” dan “tak nyata”. Hantu? Delusi?

Ah, Joko sedang menggoda. Seolah ada sesuatu di situ. Padahal, Joko hanya sedang bermain-main. Ia mempermainkan pakem –pakem film horor, pakem film thriller atau misteri.

Joko –dan Sekar Ayu sebagai sumber cerita– menabur banyak misteri bagi kita: misteri patung-patung milyaran rupiah Gambir, misteri si anak yang tersiksa, misteri pelanggan klinik aborsi, misteri pintu terlarang. Tapi, tiba-tiba saja, cerita ditikungkan ke sebuah jawaban dari bukan misteri-misteri itu. Soal terbesar dalam hidup Gambir, baru di bagian akhir Gambir sadar, adalah apa yang dilakukan istrinya, ibunya, para sahabatnya, bosnya, di belakang punggung Gambir.

Itu, kalau Anda merasa penting untuk mendapat cerita dari film ini. Dengan segala kecanggihan teknis Joko dalam bertutur audio-visual, cerita dan tuturan Pintu Terlarang hampir tak mengejutkan. Pilihan Joko benar ketika akhirnya ia menekankan sensasi slasher dalam film ini. Kapan terakhir kali Anda melihat kepala dibenamkan melalui lubang matanya ke pecahan gelas wine dalam suasana ruang dan etiket penuh citarasa kelas tinggi? Atau, tepatnya, kapan terakhir kali Anda melihat adegan itu di film Indonesia?

Pada akhirnya, cerita adalah kendaraan belaka bagi Joko untuk membenamkan diri dalam keasyikan menjelajah retorika kamera.  


5.

Dan di akhir film, Gambir menatap kita. Ah, maaf, Gambir menatap kamera. Sejenak. Tapi, seperti penuh arti.

Aktor menatap kamera, bicara kepada penonton, adalah teknik yang biasa disebut “meruntuhkan dinding keempat”. Istilah “dinding keempat” diambil dari dunia teater. Untuk setting sebuah panggung, biasa dibangun dinding di belakang, kiri, dan kanan panggung. Ruang untuk dinding keempat dibiarkan kosong, yakni agar penonton bisa melihat ke panggung. Tapi, dinding keempat itu diasumsikan ada, memisahkan antara penonton dan pemain, penonton dan cerita, penonton dengan cerita.

Teknik berbicara dengan penonton di panggung telah berjalan ribuan tahun, sejak drama-drama komedi dan tragedi Yunani Kuno. Shakespeare pun menerapkan teknik ini pada beberapa dramanya. Misalnya, dalam Midsummer Night’s Dream, Puck bicara pada penonton bahwa jika para penonton tak berkenan pada cerita yang mereka tonton, anggap saja itu semua adalah mimpi.

Metode ini (sebetulnya, ada beberapa metode peruntuhan dinding keempat selain bicara pada penonton) diterapkan pula dalam teater tradisional, seperti lenong atau ludruk. Sudah biasa bahwa dalam pertunjukan lenong atau ludruk, para pelawak berbicara pada penonton. Yang menarik adalah pertunjukan TVRI pada 1980-an, Teater Mama, dengan bintang mereka, Mat Solar yang masih muda dan lumayan kurus.

Dalam pertunjukan televisi itu, panggung ditata ala kadarnya, dan ada penonton yang sebetulnya adalah para pemain teater juga. Para aktor utama, yang memerani tokoh-tokoh cerita, sering menyapa dan bertanya pada para penonton: “Hey, penonton....!”. Semua lakon mereka direkam kamera televisi, untuk kita menontonnya di rumah. Dalam pertunjukan TVRI tersebut, teknik peruntuhan dinding keempat digunakan, tapi dinding keempat dipertahankan lewat kamera.

Satu lagi hal menarik. Di tangan Bertolt Brecht, seorang dramawan besar Jerman beraliran politik kiri, teknik peruntuhan dinding keempat itu dinamai Verfremdungseffekt atau efek alienasi/pengasingan. Brecht meminjam teori defamiliarisasi dalam sastra menurut teori formalisme Rusia. Gagasan di balik praktik ini menurut Brecht adalah menciptakan jarak dengan cerita yang dipanggungkan, agar penonton tidak terbenam pada emosi para tokoh-tokohnya, namun tetap mampu bersikap objektif dan rasional dalam menilai cerita dan para tokohnya itu.

Singkatnya, bagi Brecht, pertunjukan teater bukanlah wahana eskapisme bagi para penontonnya. Mereka tidak diminta untuk terlena oleh cerita. Mereka diminta tetap sadar bahwa cerita hanyalah cerita, dan yang lebih penting adalah pemaknaan rasional terhadap cerita yang dipertunjukkan.

Dalam film, efek pengasingan seperti yang diharapkan Brecht dalam peruntuhan dinding keempat itu agaknya tak selamanya disadari. Tujuan kebanyakan film yang menerapkan teknik ini, khususnya di Hollywood, justru lebih condong pada upaya mendekatkan sang film dengan penonton. Dengan kata lain, tujuannya agar dapat berkomunikasi lebih intensif. Paling tidak, agar ada ilusi ”pertunjukan panggung”, ilusi bahwa kamera bukanlah dinding keempat yang lebih mutlak daripada dinding keempat yang ada dalam pertunjukan panggung yang dihadiri penonton dalam ruang sama dengan para pemain.

Peruntuhan dinding keempat banyak dilakukan dalam film-film Marx Bersaudara pada 1930-an. Pada 1950-an, pelawak Bob Hope sering bicara pada penonton dalam film-film serial Road To… (ada enam dalam serial ini). Salah satu yang paling terkenal, dalam Road to Bali, Bing Crosby akan menyanyi, dan Bob Hope menatap penonton (ah, maaf, kamera) dan bicara, “Oke, sekarang Bing mau menyanyi, saatnya Anda keluar dan beli popcorn!”

Salah satu contoh mutakhir eksploitasi peruntuhan dinding keempat ini adalah Alfie (Charles Shyer, 2004). Dalam film remake ini, karakter Alfie (Jude Law) tampak sangat cerewet bicara dengan penonton. Ketika film itu mencoba untuk masuk ke “bawah kulit”, mencoba menggambarkan perasaan terdalam, upaya itu gagal. Seorang tokoh cerita yang gemar sekali bicara pada penonton tak lah (terasa) mungkin untuk memiliki cerita yang “nyata”. Pastilah ia tokoh main-main dari sebuah cerita main-main.

Alfie, karenanya, (kita anggap) tak mungkin punya perasaan “nyata”, yang mampu membuat penonton simpati, terlibat secara emosional, atau mengidentifikasi diri. Alfie adalah sebuah upaya gagal untuk menjadi nyata dalam ketaknyataan. Barangkali, justru ambisi menjadi nyata itulah yang menggagalkan Alfie.

Joko agaknya sutradara yang sangat keberatan dengan pernyataan bahwa film harus bicara tentang “kenyataan (hidup)”, dan lebih mengimani bahwa film adalah “make-believe” atau “rekapercaya”. Padahal, seperti tampak pada dialog-dialog dalam adegan-adegan di galeri, jelaslah bahwa Joko punya pemahaman yang tajam tentang realitas di sekeliling Joko sendiri. Tapi, ia memilih menaruh hal-hal semacam itu, hal-hal yang mengandung “relevansi sosial” itu, di belakang film. Joko lebih masyuk dalam soal gerak-gerik dan penempatan kamera, kostum, dan twist (tikungan) cerita serta soal-soal menyangkut genre dan (istilah favorit Joko) “genre bending”, atau credit title (bagian credit title di awal film Pintu Terlarang sungguh ciamik!).

Bagi Joko –setidaknya, jika kita menonton karya-karyanya, film adalah dunia yang mandiri dari dunia kenyataan penontonnya. Film adalah dunia rekaan murni, tempat para tokohnya bisa jadi Ratu Adil, superhero, atau jagal bergaya keren.

6.

Joko menutup Pintu Terlarang dengan tatapan mata Gambir pada kamera. Tapi, kita ingat, sebelumnya, tokoh Dandung menegaskan bahwa hanya karena dia memandang kamera, bukan berarti dia bicara dengan kamu! Maka, apa makna tatapan itu? Barangkali tak ada.

Gambir hanya menatap kamera, tak kurang dan tak lebih, untuk kemudian melengos dari kamera, melanjutkan hidup fiksionalnya, meninggalkan penonton kembali ke dunia ”nyata”, setelah lampu bioskop menyala.*** 



sumber : Disini

0 komentar:

Posting Komentar